Kejahatan seksual merupakan kejahatan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa
persetujuan dari salah satu pihak, sehingga menimbulkan kejahatan dan menyebabkan adanya korban dari tindakan tersebut. Korban dari kejahatan seksual tidak memandang umur atau jenis kelamin, semua orang bisa menjadi korban dari kejahatan seksual. Bahkan, anak kecil yang belum berjalan pun bisa menjadi korbannya. Kejahatan seksual tidak ada henti-hentinya dan malah semakin meningkat, sehingga membuat masyarakat semakin khawatir. Karena pelaku dari kejahatan seksual,lebih cenderung merupakan keluarga atau kenalan dari korban mereka daripada orang asing. Berdasarkan data dari sebuah riset oleh Elma Adisya, Reporter, pelaku kejahatan seksual sebanyak 30,2% dilakukan oleh orang asing, dan 48,1% dilakukan oleh orang terdekat korban, dari 75% pelaku tersebut terbukti melakukan kekerasan secara fisik.
Hal itu berarti kita harus lebih waspada terhadap orang yang baru kita kenal bahkan
orang terdekat kita sekalipun. Kejahatan seksual yang dibahas ini fokus kepada kejahatan seksual yang dimana anak menjadi korban. Sejak tahun 1970-an kejahatan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan hanya telah menjadi objek perhatian publik signifikan pada masa sekarang. Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada 2019 ditemukan sebanyak 350 kasus
kejahatan seksual pada anak, kasus tersebut terus meningkat pada tahun 2017 ditemukan sebanyak 81 kasus dan pada tahun 2018 sebanyak 206. Kejahatan seksual merupakantantangan yang sangat besar bagi kita semua baik pemerintah maupun masyarakatnya, sebagai orang tua seharusnya membimbing anak-anak kedalam hal-hal positif sehingga bisa membuat masa depannya berwarna. Kejahatan seksual terhadap anak ini sama pentingnya dengan “sekarang makan dengan apa”, karena kejahatan itu bisa membuat anak menjadi depresi dan bahkan membuat hidupnya tidak terarah.
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan tantangan yang cukup berat, karena hal itu menyangkut generasi penerus bangsa. Tindakan kejahatan ini seringkali tidak di sadari oleh lingkungannya, padahal lingkunganlah tempat yang rentan terjadi tindakan ini.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus kekerasan seksual anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kejahatan seksual terhadap anak (kemenkopmk.com). Artinya kasus-kasus ini banyak sekali dijumpai meskipun tidak secara langsung. Kejahatan ini seharusnya menjadi upaya bagi pemerintah untuk terus menerus mengedukasi masyarakat tentang kejahatan seksual terhadap anak ini. Anak yang masih dibawah umur sangat rentan menjadi korban karena anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak yang rendah. Anak merupakan manusia yang masih pada tahap belajar mengenal lingkungan, kehidupan dan dirinya sendiri. Peran orang tua maupun lingkungannya sangat berarti kepada mereka untuk membantu mereka mengenal lingkungan,kehidupan dan dirinya sendiri. Tetapi, hal itu sering disalah artikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, anak seringkali mereka jadikan sebagai rangsangan seksualnya. Bentuk-bentuk dari kejahatan seksual ini berbagai macam, bentuk kejahatan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap
anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual
tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak). Karena itu anak sangat rentan menjadi korban kejahatan seksual, misalnya pelaku memberikan korban uang atau hadiah tetapi mereka harus melakukan sesuatu, karena anak tersebut menginginkannya lalu ia menerima uang atau hadiah walaupun harus melakukan sesuatu. Lingkungan memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam segala tingkah laku individu termasuk pelaku kekerasan seksual. Setting lingkungan tidak hanya berpengaruh secara fisik tapi juga secara psikologis dan sosial bagi masyarakat di dalamnya. Finkelhor (1999) menunjukkan bahwa anak dari kelompok tertentu lebih rentan terhadap pelecehan seksual dibandingkan dengan yang lainnya. Mereka termasuk anak-anak dari keluarga yang bercerai, anak yang hidup dengan orang tua tiri atau wali, anak-anak dari keluarga yang melakukan kekerasan, cacat fisik seperti kecanduan alkohol, obat-obatan dan masalah kesehatan mental (Paulauskas: 2013).Kejahatan seksual sangat erat kaitannya dengan pedofilia, Pedofilia digolongkan sebagai kejahatan terhadap anak karena mengakibatkan dampak buruk bagi korban. Menurut ahli kejiwaan anak Seto Mulyadi, para korban pedofilia akan mengalami kurang rasa percaya diri dan memilki pandangan negative terhadap seks. Para pedofilis memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
Baik anak laki-laki di bawah umur (pedofilia homoseksual) dan ataupun dengan anak perempuan di bawah umur (pedofilia heteroseksual)(Sawitri Supardi, 2005). Pedofilia merupakan bentuk penyiksaan anak dimana orang dewasa atau remaja yang lebih tua
menggunakan anak sebagai rangsangan seksual. Adapun efek kekerasan seksual
terhadap anak antara lain:depresi, gangguan stres pasca trauma dan kegelisahan.
Kejahatan seksual pun menyebabkan sakit baik fisik maupun psikis, kerugiannya baik jangka panjang atau jangka pendek. Dampak psikisnya yaitu meliputi, depresi, gangguan stress pasca trauma, kegelisahan, sikap antisosial, rasa rendah diri yang buruk, perubahan perilaku seksual, perilaku menyakiti diri sendiri, kurangnya rasa empati dan bisa menyebabkan bunuh diri. Selain itu, dampak fisik dari kejahatan seksual pun berupa, cedera yang menyebabkan luka internal dan pendarahan, kerusakan organ internal,kematian,infeksi pada organ kelamin, penyakit menular dan kerusakan neurologis yang menyebabkan perubahan dalam fungsi perkembangan otak.
Semua dampak-dampak tersebut sangat disayangkan sekali, anak-anak yang mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia yang berguna, terpaksa meninggalkan mimpimimpinya yang disebabkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka pun akan merasa tidak berguna jika hidup lagi, karena mereka mengklaim bahwa hidup mereka telah selesai dan untuk apa mereka hidup jika hanya raga saja yang ada tetapi jiwa mereka telah hilang. Secara tidak sadar, pelaku bukan hanya merampas mimpi-mimpi anak-anak tersebut tetapi mereka juga telah merampas jiwa suci seorang anak. Disaat itulah peran orang tua didalam keluarga atau dilingkungannya salah dibutuhkan, agar para anak-anak tidak merasa sendiri. Komunikasi antara orang tua dan anak harus lebih di eratkan lagi, bukan hanya sekedar memperhatikan secara fisik tetapi memperhatikan juga psikis anak, karena rasa sakit psikis yang dialami anak sulit ditunjukkan bahkah disembuhkan dari pada sakit fisik.
Peran orang tua pun sangat penting pada anak, orang tua harus mengedukasi kepada anak bagian tubuh mana saja yang boleh disentuh dan dilihat oleh orang lain dan bagian tubuh mana saja yang boleh disentuh dan dilihat oleh orang tuanya, dengan begitu anak menjadi mengerti tentang batasan-batasan pada tubuhnya. Orang tua pun perlu mendekukasi anak tentang pendidikan seksual, agar anak lebih bertanggung jawab dan menghindari resiko yang
terjadi.
Di Indonesia kekerasan seksual pada anak dapat dihukum seperti dalam UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang termuat dalam Bab XII yaitu mulai Pasal 77
sampai dengan Pasal 90 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 65 mengatur
tentang adanya hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalah gunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Dalam UU No.23 tahun 2002 Pasal 88 mengatur adanya ketentuan pidana bagi setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi ataupun seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Anak korban kejahatan seksual mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan korban kejahatan yang lain pada umumnya. Beberapa faktor yang membedakan, sebagai berikut; 1). Tingkat dan bentuk pengalamam trauma. 2). Anak-anak merupakan pihak yang rawan menjadi korban penyerangan 3). Tekanan sosial dari orang dewasa terhadap anak-anak korban kejahatan yang kurang berdaya. 4). Dukungan sosial terhadap pelaku kejahatan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dibuktikan bahwa kejahatan seksual sangat
berbahaya terutama anak yang menjadi korban dari tindakan kejahatan tersebut.
Pelaku kejahatan seksual umumnya berasal dari lingkungan korban, untuk itu orang tua dan lingkungan sekitar harus saling menjaga satu sama lain. Dengan pelaku orang dekat seperti ini tentu sering kali menimbulkan efek trauma yang berkepanjangan jika tidak ditangani dengan baik untuk itu diperlukan penangana yang komprehensif yang berorientasi pada restorasi korban dengan lebih sungguh-sungguh.Dampak yang ditimbulkan pun sangat tidak sedikit untuk itu peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan untuk melindungi anak dari korban kejahatan seksual.
Comments